Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'arie (bagian belakangnya juga sering
dieja Asy'ari atau Ashari) (10 April 1875 (24
Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang)
adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang
terbesar di Indonesia.
Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya
bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah
selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan
keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya. Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman
(Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman
(Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari
(Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)
Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di
Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di
Semarang, Pesantren Kademang-an di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di
Sidoarjo.
Pada tahun 1892,
KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru
pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh
at-Tarmisi, Syekh Ahmad Amin
Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi
bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein
Al-Habsyi.
Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim
adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih
terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja
Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman
memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri,
Kiai Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh
kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak.
Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13
tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang
dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana
memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi
santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren
Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan
berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan,
Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di
pesantren yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar
menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang
berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim
menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem
berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat
ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan
Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim
bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan
di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah
selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten
milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren
Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani
dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu,
biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa
sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual
hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi
keluarga dan pesantrennya.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di
Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir,
pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah
timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan
yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar
dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang
dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan
kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan
istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan
hasil yang menggembirakan.
Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas,
pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim dikaruniai
10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul
Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9)
Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim
menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok
Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4
orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4)
Muhammad Ya’kub.
Perjuangan
Pada tahun 1899,
sepulangnya dari Mekah,
KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi
pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926,
KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti
kebangkitan ulama.
Jombang l933 , Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar,
KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu saya
memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil.
Kiai Hasyim menjawab, "Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan
mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru
pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga
sekarang.
Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya." Tanpa
merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. "Keputusan
dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa
kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada
Tuan," katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak
bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya
cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena
hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang
gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai
Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan
saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para
murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua
pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada
pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri
sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada
kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek
Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap
Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi' menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim
selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia,
termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada
Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai
Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH
Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid
Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang
pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling
penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku 'Tradisi Pesantren',
mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin
lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para
pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai
Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi
perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk
merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937,
tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad
(perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih
melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah
mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam
bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van
der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang
telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas
alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif
dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri
minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu.
Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin
represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan
Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang
undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif
Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk
membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai
oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk
menagkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda,
mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan
dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi
pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.
Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab
dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung
hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang
di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan
Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai
datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif
kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi,
sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus
Syeikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim
menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke
arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini
juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah SWT lah yang
wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara
berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya
ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus
Syeikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut
ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik
sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syeikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di
Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga
Hadratus Syeikh tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus
mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh
Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu,
pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab
Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan
di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil
Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu
yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya)
dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama
menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,
meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang
bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10
Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis
Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu
langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat
sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai
penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan
seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal
Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi
di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan,
Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy'ari dan KH
Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang
giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana
diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat
Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi
Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik
perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk
Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk
memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya
bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat
universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat,
mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan
kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali
tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri
dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia
berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke
Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH
Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan
Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali
Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari
keterikatan mazhab.
Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang
sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk
menafsirkan al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para
ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek
keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia
berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili
kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak
bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis)
itu memang kerap tidak terelakkan.
Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di
Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai
kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi
bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting,
mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk
Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas
menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas
restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi
Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937
ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan
Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia)
Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai
politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini
disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus
menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan,
sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri
atau Kebangkitan Pemikiran).
Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum
Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi
kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan
memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar
adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum
Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai
bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam
masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan
madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan
semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin,
karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan
modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di
bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang
menghormati keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan
peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan
Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam
Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan
tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta
rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim
bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite
Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan
meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir
bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu
Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat
Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing.
Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta
peradaban yang sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan
sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar.
Hadratus syeikh KH. Hasyim Asy'ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu
untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum dating juga. Kiai Hasyim
sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil
bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kiai Khalil telah mengetahui apa
yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya
yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah
Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di
Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat
Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut,
hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan
tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga
terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui
Hadratus Syeikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih
ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil
di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun
perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak
rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir
tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh
adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu
sikap ketaatan santri kepada sang guru.”Kiai Kholil juga meminta untuk
mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap.
Hadratus Syeikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama
kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang
dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal
dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi
didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai
Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi
organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam
terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad
Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide
reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam
dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini
Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di
kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan
di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah
(berdiri tahun 1912).
Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari
keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami
maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab.
Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di
seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para
kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis
Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim,
diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng
menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran
tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan
bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya
berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa
pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa
Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah,
diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri
yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya
sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak
dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7
tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan
sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang
diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi
menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir
tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun
berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk
memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima
tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah
Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia
(Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun
1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928
kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang
Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak
(sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).
Pendidik sejati
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur
kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan
persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun
1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai
bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif
bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat,
dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan
semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak
pagi hingga malam, Kiai Hasyim menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi
hari, kegiatan beliau dimulai dengan menjadi imam salat subuh di masjid Tebuireng,
yang berada tepat di depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup
panjang. Selesai wirid, beliau mengajar kitab kepada para santri hingga
menjelang matahari terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah
al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Setelah selesai mengaji, Hadlratus Syeikh yang terbiasa berpuasa itu
mememui para pekerja yang sudah berkumpul di samping rumah. Beliau membagi
tugas kepada mereka; ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas
pondok, membenahi sumur, dan lain sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan
laporan-laporan mengenai hal-hal yang pernah beliau perintahkan.
Sekitar pukul 07.00, Kiai Hasyim mengambil air wudlu’ untuk salat
dhuha. Beliau biasanya mengambil air wudhu di jeding samping ndalem dengan
hanya mengenakan sarung dan kaos putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan dengan
mengajar santri senior. Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab yang pernah
diajarkan antara lain al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muattha’ karya Imam
Malik ra. Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00.
Mulai jam 10.00 pagi sampai jam 12 adalah waktu istirahat, yang
digunakan untuk agenda-agenda seperti menemui tamu, membaca kitab, menulis
kitab, dan lain-lain. Sebelum azan zuhur, kadang kala beliau menyempatkan diri
untuk tidur sebentar (qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail dan membaca
al-Qur’an. Ketika azan zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat
zuhur berjama’ah di masjid. Selepas salat zuhur, beliau mengajar lagi sampai
menjelang waktu asar.
Kira-kira setengah jam sebelum asar, Kiai Hasyim memeriksa pekerjaan
para pekerja yang ditugasinya tadi pagi. Setelah menerima laporan, beliau
kembali ke ndalem kemudian mandi.
Setelah terdengar azan asar, beliau kembali ke masjid dan mengimami
salat ashar, dilanjutkan dengan mengajar para santri di masjid sampai menjelang
masghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib
diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara
kontinue dibaca setiap selesai salat asar.
Setelah salat maghrib, Kiai Hasyim menyediakan waktu untuk menemui para
tamu yang datang dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang,
Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra,
Telukbelitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai
Marfu’ah, pembantu Kiai Hasyim, bahwa setiap harinya Kiai Hasyim menyediakan
banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah
tamunya bisa mencapai 50 orang.
Setelah salat isya, beliau mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas
malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang
tasawuf beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, dan
untuk tafsir adalah Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir.
Setelah itu Kiai Hasyim muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh
beberapa santri. Beliau mengahiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam
satu malam dan bangun satu kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran.
Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum Subuh), Kiai Hasyim sudah
berkeliling pondok untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau
berwudlu’ guna malaksanakan salat tahajjud dan salat subuh. Ketika usianya
sudah beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, Kiai
Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya membangunkan para santri menjelang subuh.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi
bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi
santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang
tanpa bekal sedikitpun. Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah makan harian
kepada para santri yang tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak
mereka untuk berwiraswasta atau pergi ke sawah untuk bertani.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang
selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di
Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar
ngaji.”
Pengajian Rutin Shahih Bukhari-Muslim
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun
tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau
terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah bosan
mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu
pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari
libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan
ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga
memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan
seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim
juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai
merintis pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk
memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri. Meskipun
pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan
bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim
akhirnya membolehkan.
Selain mencari nafkah, pada hari Jum’at Kiai Hasyim juga memiliki
kegiatan memperbanyak membaca al-Qur’an. Kemudian setelah salat jum’at, beliau
memberikan pengajian umum kepada santri dan masyarakat. Dalam pengajian umum
ini, Hadratus Syekh memberikan materi Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir
karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi ra.
Kebiasaan lain yang tak pernah beliau tinggalkan ialah membaca shalawat
kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau juga sering membaca kitab Dalail al-Khairat
yang di dalamnya banyak terdapat shalawat. Ketika ada santri yang menganggur,
beliau mengingatkannya untuk membaca shalawat agar waktu yang mereka miliki
tidak sia-sia.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari (4
jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada
tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari).
Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu
sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil
Bangkalan, dan menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.
Dekat kepada Allah
Dikisahkan, ketika Hadratus Syeikh merasa amat letih karena siang
harinya menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa
memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis salat Isya
beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun pada pukul
setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan
menjalankan salat tahajjud.
Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam
hari, padahal persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud diiringi
dengan wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya
dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat
Ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu
sahur (akhir malam) mereka memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].
Seketika itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis
terisak-isak. Sejurus kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah
memutih. Kiai Hasyim merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur.
Sambil menengadahkan tangan, beliau berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang
lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan segala
perintah-perintah-Mu.” Kemudian beliau bangkit dari tempat duduknya menuju
tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca
tasbih.
Peristiwa seperti ini terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat
tentang siksa, ancaman, dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan
perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh kaum muslimin, beliau selalu
meneteskan air mata.
Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan
badan. Ketika sampai di tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari
masjid sedang membaca al-Qu’an surat al-Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam
hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan
bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan.
Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan
bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai
urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya
dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan
melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]
Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari
Allah Swt. melalui santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan
bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur
dibatalkan.***
Diceritakan pula, pada tahun 1943, Kiai Hasyim diserang demam yang
sangat hebat. Ketika telah masuk waktu zuhur, beliau memaksakan diri bangkit
dari tempat tidur menuju kolam untuk mengambil air wudhu’. Beliau berjalan
sambil dipapah oleh kedua putranya. Setelah mengambil air wudhu’, beliau
memakai baju rapi disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah
seorang putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah.
Sebaiknya ayah salat di rumah saja!”
Beliau menjawab, ”Ketahuilah anakku, api neraka itu lebih panas dari pada
demamku ini!” Kemudian beliau bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid
dengan dipapah.
Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin parah. Sanak famili dan
putra-putrinya berdatangan. Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua
matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka
seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, kakak?”
Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku menangis bukan karena penyakitku,
bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa
belum mempunyai amal shaleh sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah
yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku menghadap Allah dengan tangan
hampa, tiada mempunyai amal kebaikan sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”
Karya-Karya Kiai Hasyim
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga
penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari,
antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar
yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai
problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham
persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah,
diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah
al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf,
dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti
Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’.
Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah
fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum
mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang
masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum
muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok
tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa
al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan
pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20
Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul
Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul
Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan
fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan. Pernah dicetak oleh
percetakan Menara Kudus tahun 1971 M. dengan judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun
al-Asasy li Jam’iyah Nahdhatul Ulama’”.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah.
Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Tebal 4 halaman, berisi
tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat madzhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang
metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon
atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang
merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis,
dan lain sebagainya. Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres
Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah diterjemahkan
oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus
1959, tahun pertama halaman 5-6.
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul
Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul
Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas
menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang
muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW.
Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat,
dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai
ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi
al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan
maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang
pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di
salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan
mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang
menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari
tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355
H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats
al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat
as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah
tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta
menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin
al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi
polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga
terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang
pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu
yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara
syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab ini
biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq,
sehingga tebalnya menjadi 75 halaman.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara
yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan
thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini
diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim,
dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor
setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai
halaman 29.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid,
pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama
dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak
bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta
dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh
syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai
ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf;
penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan
bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim
fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih.
Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan
pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin
Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh
Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi
Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab,
diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab
terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad
al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid
Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan
bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin
Sa’id al-Yamani.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya
KH. Hasyim Asy'ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li
Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
Dipanggil Yang Maha Kuasa
Malam itu, tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21
Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat
Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada
ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal
Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai
Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikan surat
dari Jenderal Sudirman.
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan
diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk
merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura,
Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.
2. Hadiratus Syeikh KH.M. Hasyim Asy'ari diminta mengungsi ke Sarangan,
Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan
dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral
para pejuang akan runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai
Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran
tersebut.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam,
datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat
untuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim
mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat
itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota
laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali
meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.
Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron
(pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota
Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah
jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat
sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah,
Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama
kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan
diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak
(asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7
Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy'ri dipanggil yang Maha
Kuasa. Inna liLlahi wa Inna Ilayhi Raji’un.
***
Atas jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947),
terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang
melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam
Indonesia. Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan
kapal Belanda. Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan
atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. Maka Presiden Soekarno
lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.
Referensi :
http://masphi.blogspot.com/



Tidak ada komentar:
Posting Komentar